Administrasi publik
Administrasi Publik atau Administrasi Negara adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting kehidupan bernegara yang meliputi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif
serta hal- hal yang berkaitan dengan publik yang meliputi kebijakan
publik, manajemen publik, administrasi pembangunan, tujuan negara, dan
etika yang mengatur penyelenggara negara.
Lokus ilmu administrasi publik
lokus adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada.
Dalam hal ini lokus dari ilmu administrasi publik adalah: kepentingan
publik (public interest) dan urusan publik (public affair).
focus ilmu administrasi publik
Fokus adalah apa yang menjadi pembahasan penting dalam memepelajari
ilmu administrasi publik. yang menjadi fokus dari ilmu administrasi
publik adalah teori organisasi dan ilmu manajemen.
Sejarah
Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson (1887), yang kemudian menjadi presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang berjudul “The Study of Administration” yang dimuat di jurnal Political Science Quarterly.
Kemunculan artikel itu sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda
akan perlunya perubahan terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi
di Amerika Serikat pada waktu itu yang ditandai dengan meluasnya
praktik spoil system (sistem perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya inefektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan negara.
Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu ternyata tidak mampu
memecahkan persoalan tersebut karena memang fokus kajian Ilmu Politik
bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien,
melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan bagaimana
keputusan-keputusan politik dirumuskan.
Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa kenyataannya lebih sulit
mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan merumuskan
konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu belum
ada. Oleh karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi dengan
baik maka diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai
Ilmu Administrasi
tersebut. Ilmu yang oleh Wilson disebut ilmu administrasi tersebut
menekankan dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan perlunya menerapkan merit system
dengan memisahkan urusan politik dari urusan pelayanan publik. Agar
pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien, Wilson juga
menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh organisasi
bisnis ―the field of administration is the field of business.
Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut kemudian dilakukan oleh Frank J. Goodnow yang menulis buku yang berjudul: Politics and Administration
pada tahun 1900. Buku Goodnow tersebut seringkali dirujuk oleh para
ilmuwan administrasi negara sebagai "proklamasi‟ secara resmi terhadap
lahirnya Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya,
yaitu Ilmu Politik. Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma
dikotomi politik-administrasi. Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi
Negara mencoba mendefinisikan eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologi, epistimologi dan aksiologi
yang berbeda. Beberapa tahun kemudian, sebuah buku yang secara
sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu Administrasi Negara lahir
dengan dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul Introduction to the Study of Public Administration
pada 1926. Buku White yang mencoba merumuskan sosok Ilmu Administrasi
tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai karya ilmuwan
sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan tentang bagaimana suatu
organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan efisien, seperti Frederick Taylor (1912) dengan karyanya yang berjudul Scientific Management, Henry Fayol (1916) dengan pemikirannya yang dituangkan dalam monograf yang berjudul General and Industrial Management, W.F. Willoughby (1918) dengan karyanya yang berjudul The Movement for Budgetary Reform in the State, dan Max Weber (1946) dengan tulisannya yang berjudul Bureaucracy.
Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan administrasi negara berusaha membangun body of knowledge
ilmu ini dengan terbitnya berbagai artikel dan buku yang mencoba
menggali apa yang mereka sebut sebagai prinsip-pinsip administrasi yang
universal. Tonggak utama dari era ini tentu saja adalah munculnya
artikel L. Gulick (1937) yang berjudul Notes on the Theory of Organization di mana dia merumuskan akronim yang terkenal dengan sebutan POSDCORDB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating, Reporting dan Budgeting).
Tidak dapat dipungkiri, upaya para ahli administrasi negara untuk
mengembangkan body of knowledge ilmu administrasi negara sangat
dipengaruhi oleh ilmu manajemen.
Prinsip-prinsip administrasi sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan
tersebut pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip administrasi yang
diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut mereka dapat juga
diterapkan di organisasi pemerintah.
Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi negara
diwarnai sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang
tidak pernah selesai. Kegamangan para ilmuwan administrasi negara dalam
meninggalkan induknya, yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya
secara mandiri bermula dari kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang
mereka sebut sebagai prinsip-prinsip administrasi sebagai pilar pokok
Ilmu Administrasi Negara. Keruntuhan gagasan tentang prinsip-prinsip
administrasi ditandai dengan terbitnya tulisan Paul Applebey (1945) yang berjudul Government is Different. Dalam tulisannya tersebut Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda dengan institusi swasta
sehingga prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari manajemen
swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi pemerintah.
Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul The Proverbs of Administration
semakin memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi yang
terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang
demikian membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami "krisis identitas‟
dan mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik. Namun demikian, hal ini
tidak berlangsung lama ketika ilmuwan administrasi negara mencoba
menemukan kembali fokus dan lokus studi ini.
Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan bisnis
cenderung mengembangkan nilai, tradisi dan kompleksitas yang berbeda
mendorong perlunya merumuskan definisi yang jelas tentang
prinsip-prinsip administrasi yang gagal dikembangkan oleh para ilmuwan
terdahulu. Dwiyanto
(2007) menjelaskan bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai
dan praktik yang berbeda dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan
organisasi sukarela. Mekanisme pasar
bekerja karena dorongan untuk mencari laba, sementara lembaga
pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan
publik. Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan organisasi
swasta sangat berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi
negara menyadari pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang
berbeda dengan yang dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan
teori-teori administrasi bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka
identitas Ilmu Administrasi Negara menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan
administrasi negara lebih menempatkan proses administrasi sebagai pusat
perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah sebagai tempat praktik (lokus).
Perubahan administrasi negara ke administrasi publik
Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus
berulang. Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai
ilmu administrasi pemerintahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya
ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan administrasi negara
yang sangat tinggi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang
relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi
pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu
Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Menurut Dwiyanto
(2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus Ilmu
Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga
pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara
tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui
berbagai lembaga non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang
dulu menjadi monopoli pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi
juga tidak semata-mata memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga
barang dan jasa privat. Pratikno (2007) juga memberikan konstatasi yang
sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap
menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara lebih
efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan ekonomi dan
sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya dengan
aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society (masyarakat sipil). Secara lebih tegas, Miftah Thoha
(2007) bahkan mengatakan telah terjadi perubahan paradigma “ dari
orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi
ke pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindle sebagai too much state, di mana negara pada pertengahan 1980-an terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter.
Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu:
- Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat;
- Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi;
- Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya;
- munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis.
Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para
mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan
menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara?
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata "negara‟ dalam Ilmu
Administrasi Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk
mewadahi dinamika Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang
semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam
perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara telah terjadi pergeseran
titik tekan dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal
yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan
publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan
demikian istilah public administration tidak tepat lagi untuk
diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika
diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di
sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan
Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini
menunjukkan keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor
bisnis maupun civil society di dalam pengadministrasian pemerintahan.
Konsekuensi dari perubahan makna public administration sebagai
administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu
Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi
pemerintah menjadi berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi
pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat
menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan
pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.
Lingkup
Kebijakan publik
Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟ sebagaimana dijelaskan di
atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara
lebih jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi
pemerintah dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan
fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian ilmuwan administrasi publik.
Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi semakin jelas, pertanyaan
berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian ilmuwan
administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan
munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan
administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat logis
karena kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah
(Dwiyanto, 2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok
yang dapat dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya
memecahkan berbagai persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive policy, protective regulatory policy, competitive regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley, 1985: 60).
Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt
mengatakan bahwa tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk
memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan
bahwa para administrator memiliki intensitas yang tinggi dalam proses
perumusan kebijakan publik. Hal ini juga semakin menguatkan argumen
bahwa ilmu administrasi publik memang tidak dapat dipisahkan dari
induknya Ilmu Politik,
sebab proses perumusan kebijakan itu sendiri tidak hanya dilakukan
melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi juga melampaui
tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam proses
perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini
berbagai solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat
digodok agar dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang
dapat dipilih oleh para policy maker melalui proses politik.
Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin membuat
analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang sangat vital yang
dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik.
Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki (1983), Arnold J. Meltsner
(1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting sebagai
acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan
kegiatan analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa
kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin implementasinya
akan berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi kebijakan
publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle
(1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan sebagian ilmuwan yang
menjadi pelopor pengembangan studi implementasi dalam disiplin Ilmu
Administrasi Publik.
Manajemen publik
Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu
Administrasi Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus
studi ini adalah organisasi publik, sementara fokus perhatiannya adalah persoalan publik (public affairs)
dan bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan
publik. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan
administrasi publik tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang berjudul Public Management and Administration merupakan pemikiran yang memicu perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.
Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public pada public administration
yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi administrasi
publik, Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk menggunakan
istilah manajemen publik
daripada administrasi publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik
yang terjadi pada era 1990an yang mencoba memperbarui mekanisme
pengelolaan birokrasi publik yang dikenal sangat hirarkis, lamban, dan
tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan pada
manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-prinsip
birokrasi Weberian sudah sering disampaikan.
Apa yang disampaikan oleh Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali mewakili pemimpin negara yang lain:
- […] in today‘s world of rapid change, lightning-quick information technologies, tough global competition, and demanding customers, large, top-down bureaucracies –public or private—don‘t work very well.
Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan gagasan mereka, seperti: managerialism
(Pollit, 1993), new public management (Hood, 1991), market-based public
administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan
post-bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992). Namun yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang entrepreneurial government yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi best seller, yaitu Reinventing Government. Gagasan mereka kemudian diadopsi secara luas di berbagai negara setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika Serikat
mengadopsinya secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk
mengembangkan paradigma public managerialism dalam disiplin Ilmu
Administrasi Publik juga terjadi di Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa pemerintahan Margaret Thacher
untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih mengefisienkan pelayanan
publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan perlunya diterapkan semboyan
“3Es” atau economy, efficiency dan effectiveness agar pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.
Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu
cakrawala baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai
pada suatu kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkonotasi sempit
perlu diubah menjadi manajemen publik yang lebih memiliki jangkauan yang
lebih luas sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): It is argued
here that administration is a narrower and more limited function than
management […]. Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan
bahwa menurut definisi kamus, kata "manajemen‟ memiliki makna yang lebih
luas dibandingkan "administrasi‟. Dari berbagai definisi kamus yang ada
(Oxford English Dictionary, Webster Dictionary
dan Latin Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi
lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur yang harus dipatuhi oleh
seorang administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan
pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu
tidak hanya sekedar mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan:
pencapaian target dan tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai
target-target yang telah ditetapkan.
Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin
meluasnya penggunaan istilah "manajemen‟ dan "manajer‟ di sektor publik.
Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah ‟administrasi‟ justru
mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial Belanda
berakhir, penggunaan istilah ‟administrasi‟ di dalam birokrasi
pemerintah semakin jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah
‟administrasi‟ telah mengalami kemerosotan makna sebagai konsep untuk
menggambarkan pekerjaan ketik-mengetik atau sesuatu yang berkaitan
dengan pemenuhan prosedur surat-menyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa
yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa istilah ‟manajemen‟ memiliki
makna lebih superior dibandingkan istilah "administrasi‟. Oleh karena
itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa:
- As part of the general process public administration‘ has clearly lost favor as a description of the work carried out; the term manager‘ is more common, where once administrators‘ was used.
Dukungan terhadap pendapat Hughes juga diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: formerly
they were called administrators‘, principal officers‘, finance
officers‘ atau assistant directors‘. Now, they are managers‘. Tentu
saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen bukan
hanya sekedar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan
berimplikasi pada bangun teoritis yang perlu dikembangkan untuk
mendukung perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya
menyangkut bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan
konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah.
Konsekuensi dari perubahan nama "administrasi publik‟ ke "manajemen
publik‟ secara epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana
ilmuwan administrasi publik ke depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama
ini ilmuwan administrasi publik lebih berkutat pada diskusi yang
bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika dan norma bagi
manajer publik dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika
administrasi publik berubah menjadi manajemen publik, orientasi keilmuan
dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang lebih empirikal
tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu manajer publik
mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan kemampuan manajerial
mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para manajer publik
tersebut di depan masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan
administrasi publik harus memahami:
- semakin meningkatnya tekanan terhadap sektor publik untuk melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada sektor swasta;
- bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis menguntungkan dengan mempelajari public choice theory, principal/agent theory dan transaction cost theory;
- perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta seperti kompetisi yang semakin meningkat dan globalisasi;
- terjadinya perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik ke depan harus belajar perkembangan teknologi informasi untuk diadopsi menjadi e-government
Pemikiran untuk mengubah nama "administrasi‟ menjadi "manajemen‟
sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada
gagasan awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16) tentang Ilmu
Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: This is why there
should be a science of administration which shall seek to straighten the
paths of government, to make it business less unbusinesslike. Namun
demikian, tentu saja manajemen publik yang dikembangkan oleh ilmuwan
administrasi publik di masa mendatang jelas akan berbeda dengan
manajemen bisnis sebagaimana dikembangkan oleh ilmuwan di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis.
Dinamika administrasi publik di Indonesia
Dinamika perkembangan disiplin Ilmu Administrasi Publik sebagaimana
diuraikan di depan merefleksikan pencarian ilmuwan administrasi negara
terhadap fokus dan lokus dari disiplin ilmu ini yang tiada pernah
berhenti. Sebagai wadah yang menjadi naungan para ilmuwan administrasi
negara di Universitas Gadjah Mada,
Jurusan Ilmu Administrasi Negara tidak lepas dari dinamika tersebut.
Sejak kelahirannya di Universitas Gadjah Mada pada 1957, dinamika
keilmuan para dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara tercermin dari research interest
dan arus pemikiran mereka. Kumpulan naskah pidato enam Guru Besar
Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang diterbitkan oleh Majelis Guru
Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada
(2007) secara nyata mencerminkan betapa pandangan keilmuan dan pemikiran
para Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara secara substansi terus
berubah dari waktu ke waktu sebagai upaya merespon dan mengikuti
perkembangan dinamika keilmuan administrasi negara yang terjadi pada
aras internasional.
Sayangnya, dinamika keilmuan yang terjadi selama lebih dari enam
dasawarsa tersebut belum tercermin dari wadahnya, yaitu nama Jurusan
Ilmu Administrasi Negara tempat yang nota bene menjadi tempat civitas
akademis Jurusan bernaung. Nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara
tersebut sudah tidak mampu mencerminkan aktivitas akademis warga Jurusan
yang sangat beragam sebagai konsekuensi dinamika perkembangan Ilmu
Administrasi Negara sebagaimana diuraikan secara panjang lebar dalam
naskah ini. Oleh karena itu agar dinamika keilmuan warga Jurusan Ilmu
Administrasi Negara dapat tergambar secara utuh dari wadahnya maka warga
Jurusan Ilmu Administrasi Negara telah sepakat untuk mengusulkan
perubahan nama Jurusan, yaitu dari sebelumnya bernama Jurusan Ilmu
Administrasi Negara menjadi Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik. Nama
Jurusan yang baru tersebut secara gamblang mencerminkan lokus dan fokus
ilmu ini sebagaimana dipaparkan dalam naskah ini.
Kajian administrasi publik
- Kebijakan Publik
- Manajemen Publik
- Keuangan negara
- Administrasi Pembangunan
- Otonomi Daerah
- Hubungan Eksekutif dan Legislatif
- Etika Administrasi Publik
- Pelayanan Publik
- Manajemen Sumber Daya Manusia Sektor Publik
- Good Governance dan Local Governance
Rente birokrasi dan administrasi publik
Administrasi Publik selalu bersinggungan dengan birokrasi, pada pelaksanaannya para perangkat publik (PNS) selalu memberikan "push" kepada publik berupa rente dalam birokrasi tersebut.Konsep e-government
Terminologi e-government menyangkut seluruh teknologi informasi dan komunikasi yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menjangkau seluruh fungsi-fungsi kepemerintahan.Rujukan
- Henry, Nicholas (2004). Public Administration and Public Affairs. 9th Ed. Upper Sadle River. New Jersey: Pearson Prentice-Hall
- Shafritz, Jay M. & Hyde, Albert C.(1992). Classics Of Public Administration. 3rd Ed. California: Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove.
Bahan bacaan
- Applebey, P. 1945. "Government is Different‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
- Barzelay, M. 1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for Managing in Government. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Bozeman, B. & Straussman, J. 1990. Public Management Strategies, Sanfrancisco: Jossey-Bass.
- Darwin, M.M. 2007. "Revitalisasi Nasionalisme Madani dan Penguatan Negara di Era Demokrasi‟, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
- Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall.
- Dwiyanto, A. 2007. "Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari Government ke Governance‟, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: GadjahMada University Press.
- Fayol, H. 1916. General and Industrial Management. London: Pitman and Sons, Ltd.
- Goggin, M.L, Bowman, A.O, Lester, J.P, & O‟toole, Jr., L.J. 1990. Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation. Glenview, Illinois, etc.: Foresman and Company.
- Goodnow, F.J. 1900. "Politics and Administration‟, dalam Shafritz, J.M & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
- Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in the Third World. Princenton: Princenton University Press.
- Grindle, M.S. 1997. "The Good Government Imperative”, dalam Grindle, M.S. (Ed.). Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries. Harvard University Press.
- Gullick. L. 1937. "Notes on the Theory of Organization‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
- Henry, N. 1990. Public Administration and Public Affairs. New Jersey: Prentice-Hall International Inc.
- Willougby, W. 1918. "The Movement for Budgetary Reform in the States‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
- Wilson, W. 1887. "The Study of Administration‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
( Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik )